Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya.
Namun belas kasih dan simpati mereka tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Abu Nawas.
Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang.
Keyakinan orang banyak bertambah mantap.
Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas.
Orang-orang semakin resah, tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya.
Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.
Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya.
Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya.
Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuman mati kepada Abu Nawas.
Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi, Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas.
"Adakah permintaan yang terakhir" Baginda bertanya pada Abu Nawas.
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas.
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa melepaskanmu dari hukuman mati ini." kata Baginda sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh.
Baginda makin terpingkal-pingkal.
Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring : "Hamba minta dihukum pancung!"
Semua yang hadir kaget.
Orang-orang yang hadir belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan seperti itu.
Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain.
Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendadak terhenti.
Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya.
Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela diri.
"Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung.
Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung.
Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung.
Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?"
Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja tercengang.
Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini.
Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini.
Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, gampang sekali Tuanku." Jawab Abu Nawas.
"Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Ha ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hatiku.
Kau adalah pelipur laraku.
Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku.
Aku ingin selalu mendengar lelucon leluconmu yang baru!"
"Siap Baginda!"
0 komentar
Posting Komentar